DAN
KERAJINAN
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Seni Rupa
yang dibina oleh Mohammad
Reyhan F, M.Pd
KELOMPOK
4
Disusun oleh :
1.
Lailatul Kodriyah (14186206089)
2.
Galih Esti Windari (14186206090)
3.
Arif Eko Afandi (14186206091)
4.
Ariyanti Budi
Puspitasari (14186206092)
5.
Hindri Handayani (14186206326)
Kelas
: 3C
STKIP PGRI
TULUNGAGUNG
PRODI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
TAHUN
AJARAN 2015 /2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur selaku penulis kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmad dan hidayahnya sehingga makalah Pendidikan Seni Rupa tentang
“Pengertian Estetika dan Perkembangannya” ini dapat diselesaikan. Solawat serta salam
semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Serta kepada para sahabatnya dan
kepada seluruh umatnya.
Di dalam penyusunan makalah ini
ternyata kami selaku penulis tidak dapat terlepas dari kesalahan maupun
kekilafan dan juga bantuan dari guru pembimbing kami.Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen pendamping STKIP PGRI
Tulungagung serta Ibu dan Ayah kami
tercinta yang senantiasa memberikan dorongan dan bantuan material maupun
spiritual.
Penulis berharap bahwa makalah ini
dapat menjadi penunjang perkembangan ilmu dan ketrampilan kami sebagai
mahasiswa, sehingga kami dapat menjadi mahasiswa yang memiliki pengetahuan yang
luas serta mampu berfikir kreatif, inovatif dan berguna bagi bangsa dan Negara.
Kami
selaku penulis menyadari bahwa makalah kami ini belum sempurna, untuk itu saran
dan kritik dari semua pihak yang sangat kami harapkan agar menjadi bekal pengetahuan kami untuk membuat makalah yang
lebih baik dimasa yang akan datang.
Tulungagung, 9 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Judul………………………………….…………………..…........….1
Kata
Pengantar…………………………………..…………………..….......…2
Daftar Isi…………………………………………….………………….....…....3
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang………………………………………………….…........4
1.2.
Rumusan Masalah…………………………………………………....…4
1.3.
Tujuan Penulisan
…………………………………...……………….....4
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Keindahan dalam Seni………………………………....…..5
2.2. Estetika
Klasik Barat (seni adalah Mimesis)…………………...…....…7
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan………………………………….........….......................….12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………..........……………13
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Seni
mempunyai usia yang lebih kurang sama dengan keberadaan manusia di muka bumi
ini. Dalam usia yang sangat tua, seni telah menjadi bagian dari sejarah
kehidupan budaya manusia di berbagai belahan bumi, dengan beraneka macam
bentuk dan jenis. Walaupun orang telah akrab dengan istilah 'seni', namun terkadang masih belum
jelas tentang 'apakah definisi seni itu'.
Definisi
seni yang sederhana dan sering dilontarkan oleh publik secara umum ialah segala
macam keindahan yang diciptakan manusia. Orang memandang bahwa seni
merupakan karya keindahan yang menimbulkan kenikmatan. Kenikmatan
meliputi aspek kepuasan jasmani-rohani, yang muncul setelah terjadi respon
kepuasan dalam jiwa manusia, baik sebagai pencipta (kreator) ataupun penikmat
(apresiator).
Pembelajaran
teori seni rupa berfokus pada pembinaan aspek kognitif (pengetahuan)
kesenirupaan yang bertujuan memberikan pemahaman kepada siswa tentang berbagai
aspek dari seni rupa meliputi pengertian dan jenis-jenis karya seni rupa, teknis
penciptaan berbagai jenis karya seni rupa yang menyangkut pengetahuan tentang
bahan, alat dan prosedur kerja, aspek kesejarahan yang membahas mengenai
perkembangan seni rupa dari masa ke masa, faktor yang mempengaruhi, dan riwayat
hidup seniman. Tentunya, tingkatan pemahaman pengetahuan ini bersifat
berjenjang dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Sehingga
siswa lebih memahami tentang estetika seni dan perkembangannya.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian keindahan dalam seni?
2. Bagaimana estetika klasik barat?
1.3 Tujuan
pembelajaran
1. Untuk mengetahui pengertian keindahan dalam seni
2. Untuk mengetahui estetika klasik barat
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Keindahan dalam Seni
Keindahan (beauty) merupakan
pengertian seni yang telah diwariskan oleh bangsa Yunani dahulu. Plato
misalnya, menyebut tentang watak yang indah dan hukuman yang indah. Aristoteles
merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan. Plotinus
menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Bangsa Yunani juga mengenal
kata keindahan dalam arti estetis yang disebutnya "symmetria" untuk
keindahan visual, dan harmonia untuk keindahan berdasarkan
pendengaran (auditif). Jadi pengertian keindahan secara luas meliputi keindahan
seni, alam, moral, dan intelektual.
Herbert Read dalam bukunya The
Meaning of Art merumuskan keindahan sebagai suatu kesatuan arti
hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan inderawi
kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu yang
menyenangkan bila dilihat. Kant secara eksplisit menitik beratkan estetika
kepada teori keindahan dan seni. Teori keindahan adalah dua hal yang dapat
dipelajari secara ilmiah maupun filsafati. Di samping estetika sebagai filsafat
dari keindahan, ada pendekatan ilmiah tentang keindahan. Yang pertama
menunjukkan identitas obyek artistik, yang kedua obyek
keindahan.
Ada dua teori tentang keindahan,
yaitu yang bersifat subyektif dan obyektif. Keindahan subyektif ialah
keindahan yang ada pada mata yang memandang. Keindahan obyektif menempatkan
keindahan pada benda yang dilihat.
Definisi keindahan tidak mesti sama
dengan definisi seni, atau berarti seni tidak selalu dibatasi oleh keindahan.
Menurut kaum empiris dari jaman Barok, permasalahan seni ditentukan oleh reaksi
pengamatan terhadap karya seni. Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap
rasa seni, rasa indah, dan rasa keluhuran (keagungan). Reaksi atas
intelektualisme pada akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh John Ruskin dan
William Moris adalah mengembalikan peranan seni (ingat kelahiran gerakan
Bauhaus yang terlibat pada perkembangan seni dan industri di Eropa). Dari
pandangan tersebut jelas bahwa permasalahan seni dapat diselidiki dari tiga
pendekatan yang berbeda tetapi yang saling mengisi. Di satu pihak menekankan
pada penganalisisan obyektif dari benda seni, di pihak lain pada upaya
subyektif pencipta dan upaya subyektif dari apresiator.
Bila mengingat kembali pandangan
klasik (Yunani) tentang hubungan seni dan keindahan, maka kedua pendapat ahli
di bawah ini sangat mendukung hubungan tersebut, Sortais menyatakan bahwa
keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat obyektif dari
bentuk(l'esthetique est la science du beau). Lipps berpendapat bahwa
keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan subyetif atau pertimbangan
selera (die kunst ist die geflissenliche hervorbringung des schones).
Keindahan
dalam arti artistik disebut juga dengan keindahan seni yang merupakan
pengutaraan isi jiwa atau perasaan sang penciptanya. Isi jiwa manusia dapat
berbentuk rasa indah, rasa lucu (kosmis), rasa sedih (tragis) rasa gaib (magic)
dan sebagainya. Hasil karya seni mencerminkan isi jiwa sang penciptanya dan
mengungkapkan keindahan dalam arti artistik (seni).
Keindahan seni sendiri dapat
disalurkan melalui lukisan, lagu, karya sastra, patung dan masih banyak lagi
mengenai penyaluran dari keindahan seni ini. Kita juga dapat menciptakan sebuah
keindahan seni melalui lukisan tentang keindahan alam, lalu tarian yang
gerakannya menunjukkan keindahan dan lagu yang merupakan perasaan dan pikiran
kita. Pada dasarnya seni itu lahir dari
curahan emosi seseorang yang berupaya berkomunikasi dengan publlik seni, jadi
apapun hasilnya, yang penting di dalamnya terdapat proses berekspresi seni dan
komunikasi emosi dengan menggunakan media seni. Jika kita mempersoalkan
keindahan, ada dua kategori yang saling bertentangan. Yang satu bersifat
subyektif, yang memandang bahwa indah itu terletak pada diri yang melihat
(beauty is in the eye of the beholder). Sedangkan yang satu lagi bersifat
obyektif, yang menempatkan keindahan pada barang (benda/karya) seni yang kita
lihat.
2.2 Estetika Klasik Barat : Seni adalah
Mimesis
Estetika
merupakan segala hal yang menyangkut keindahan yang ada pada penglihatan
seseorang. Pandangan itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang bersifat relatif
dan tidak bisa dipastikan sama. Tapi di dalamnya, terdapat dua nilai penting
yang perlu diketahui, yaitu :
1.
Nilai instrinsik, yaitu
nilai yang terkandung dari dalam suatu keindahan.
2.
Nilai ekstrinsik, yaitu
nilai yang terlihat dari luar.
Untuk
nilai instrinsik biasanya dapat dirasakan dan dimengerti dari dalam hati oleh
penikmat atau penerimanya, sedangkan nilai ekstrinsik dapat dilihat secara
langsung dan kasat mata. Misalnya pada pementasan tari, tampak gerakan lembut
yang ditunjukkan penari, hal itulah yang disebut dengan nilai ekstrinsik.
Sedangkan penghayatan gerak dalam pertunjukkan dari tersebut adalah nilai
instrinsik yang dapat diterima para audiens sehingga semua mata yang melihatnya
mengerti akan alur cerita dari pementasan tersebut. Itulah yang dimaksud dengan
estetika jika disangkut pautkan dengan dunia seni.
Dalam perkembangan estetika klasik barat seni sering
dibicarakan sebagai suatu hal yang berhubungan dengan konsepsi rasionalitas.
Konsep rasionalitas dalam perkembangan seni ini bermula ketika digunakannya
konsep yang terlihat oleh mata dijadikan dasar dalam mengolah bentuk-bentuk
seni (reproduksi alam). Pandangan seni yang berusaha untuk menggambarkan alam
sekitar dengan tertib ini bermula di Yunani pada sekitar abad keenam sebelum
masehi (bersamaan waktu perpindahan kedua nenek moyang orang Indonesia dari
Yunan Asia Tenggara). Seni bagi orang Yunani pada masa itu adalah tiruan alam
atau disebut “mimesis”.
Mimesis merupakan salah satu wacana yang
ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunani Kuno,
hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama
untuk menganalisis seni selain
pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari
pendekatan sosiologi seni yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik seni
yang lain. Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam
hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah
pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan
karya sastra dengan realitas atau kenyataan.
Plato
menempatkan seni (yang sekarang dianggap sebagai suatu karya indah) sebagai
suatu produk imitasi (mimesis). Karya imitasi (seni) tersebut harus memiliki
keteraturan dan proporsi yang tepat. Aristoteles memandang estetika sebagai
"the poetics" yang terutama merupakan kontribusi terhadap teori
sastra daripada teori estetika. Sebenarnya secara prinsip Aristoteles dan Plato
berpandangan sama yaitu membuat konklusi bahwa seni merupakan proses produktif
meniru alam. Aristoteles juga mengembangkan teori "chatarsis" sebagai
suatu serangan kembali terhadap pendapat Plato. Chatarsis, dalam bentuk kata
Indonesia "katarsis" adalah penyucian emosi-emosi menakutkan,
menyedihkan dan lain-lain.
Patung
karya Pheidias, zaman Yunani Klasik. Estetika Klasik: Naturalisme
Seniman
tidak mengimitasi realita maupun alam, tetapi merepresentasikan alam atau
realita itu. Menurut pandangan ini, mimesis adalah gambaran dari apa yang
memungkinkan, jadi hasil karya seni tersebut bisa juga menjadi tidak realistis.
Aristoteles menganggap tragedy Yunani sebagai puncak dari mimesis. Didalam
tragedi Yunani, nasib manusia sudah diatur. Berdasarkan cerita-cerita mitologi,
intinya adalah bukan untuk meniru realitas sehari-hari, tetapi untuk
menggambarkan takdir manusia sedemikian rupa sehingga pengamat itu bisa
dikatakan tercerahkan (pemikirannya dicuci). Aristoteles menyebut ‘penyucian’
ini sebagai “catharis”. Meskipun Plato dan Aristoteles memiliki pendapat /
konsep yang berbeda terhadap mimesis dan memiliki pendapat yang berbeda atas
evaluasi mereka terhadap tragedi Yunani, mereka setuju bahwa tragedi Yunani
adalah permasalahan dari imitasi.
Plato
menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang
sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada
manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin
untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang
tetap atau tidak dapat berubah. Plato sangat memandang rendah seniman. Berdasarkan
pandangan Plato, ia membuat perbandingan antara seniman dengan pengrajin.
Menurutnya pengrajin membuat suatu citra mental dari bentuk ideal &
menggunakannya sebagai modal untuk membuat suatu produk yang lebih spesifik,
yang bisa diindrai, nyata dan siap digunakan.
Plato
kemudian membuat 3 langkah dalam pembuatan karya, yaitu :
- Bentuk sempurna dari ranjang dibuat oleh Tuhan
- Ranjang tersebut dibuat oleh tikang kayu
- Lalu pelukis mengkopi gambar rajang tersebut.
Plato
juga mengkategorikan kegiatan pengrajin yang sekarang kita golongkan sebagai
Fine Art. Menurutnya yang menjadi titik tolak ukur dalam seni adalah antara
seni yang produktif dengan seni yang imitatif. Karena seni yang imitatif tidak
mengkontribusikan sesuatu untuk dunia, menurut Plato mereka tidaklah berguna.
Plato
menyadari sifat ilusinasi dari gambar, jadi Plato membedakan dua aspek penting
dari mimesis atau imitasi, yaitu :
- Seniman menciptakan gambar berdasarkan kenyataan yang bisa di indrai, yang nyata.
- Hasil karya seni tersebut tidaklah nyata. Berdasarkan sudut pandang ini, plato membedakan kembali antara pengrajin dengan seniman, antara seni yang produktif dangan seni yang imitatif. Ketika pengrajin membuat (produce) sesuatu, seniman hanya membuat gambar dan ilusi (phantasms) dan hal tersebut tidaklah nyata.
Dunia
ide tidak hanya ada untuk kesempurnaan, untuk realitas yang sebenarnya, tetapi
juga untuk kebenaran, yang menurut Plato adalah tolak ukur dari keindahan.
Dengan kata lain yang benar itulah yang indah. Keindahan yang tertinggi tidak
akan ditemukan di jasmani ataupun rohani, tetapi murni dari bentuk atau ide. Karya
seni tidak lebih dari sebuah imitasi dari imiartasi lainnya, atau tiruan dari
tiruan, dan seniman itu sendiri tidak lebih dari seorang imitator dari imitasi dan derajatnya lebih rendah daripada
pengrajin.
Kelebihan dari teori
imitasi: teori ini bisa digunakan untuk menilai karya yang realistik, yaitu
karya seni yang mirip, atau sesuai dengan kenyataan yang kita indrai.
Kekurangan teori
imitasi :
- Latar belakang subjek (seniman) dianggap tidak berpengaruh terhadap karyanya.
- Kemiripan antara karya dengan realitas tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena realitas itu sendiri dilihat dari perspektif yang berbeda-beda.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Keindahan
disebut juga dengan keindahan seni merupakan pengutaraan isi jiwa atau perasaan
sang penciptanya. Isi jiwa manusia dapat berbentuk rasa indah, rasa lucu
(kosmis), rasa sedih (tragis), rasa gaib (magic), dan sebagainya.
Perkembangan estetika klasik barat seni berhubungan
dengan konsepsi rasionalitas atau disebut MIMESIS dalam bahasa Yunani.
DAFTAR PUSTAKA
,2014, http://www. duniapelajar.com/2014/07/19/pengertian-estetika-menurut-para-ahli/, diakses tanggal 7 Oktober 2015
,2013,
http://dkv.binus.ac.id/2013/05/15/theory-and-critique-platos-mimesis-theory/, diakses
tanggal 7 Oktober 2015
sip ar
BalasHapusmakasih :-)
Hapus